Mirah dari Banda: Perempuan dan Perang (2)


Satu lagi buku yang bercerita tentang perempuan dan perang. Buku ini saya temukan di toko buku daring dan tiba-tiba tertarik dengan judulnya. Saya tertarik karena buku ini bercerita dalam konteks di Banda Neira, Maluku. 

Menurut pemikiran saya, kita masih jarang terekspos dengan karya sastra dari Indonesia Timur. Setuju gak?

Setelah di seri pertama Perempuan dan Perang saya membawa pembaca ke Pulau Buru, di ulasan kali ini kita akan bersama-sama berangkat ke Pulau Banda.

Mirah seperti yang dikisahkan di dalam buku ini diculik bersama dengan bibi yang bekerja di rumahnya saat mereka berjalan bersama-sama di pasar. 
Sepasang laki-laki mendekati mereka dan Mirah dibawa juga. Eh tau-tau mereka sudah berada di kapal dan siap diberangkatkan ke Banda bersama dengan banyak orang lain yang bernasib sama dengan mereka.

Yu Karsih akan dijadikan sebagai buruh di perkebunan Pala, yang memang menjadi sumber kehidupan masyarakat di Pulau Banda pada masa itu. Belanda, Inggris, dan Portugis datang menjajah Indonesia untuk menguasai perkebunan dan penjualan Pala yang dihargai sangat mahal di pasar internasional.

Pada masa penjajahan Belanda memang banyak perempuan yang menjadi korban penculikan di dari Pulau Jawa untuk dibawa ke pulau-pulau terpencil dan dijadikan sebagai buruh maupun gundik. Banyak orang keturunan Jawa yang akhirnya beranak-pinak di sana dan tidak pulang kampung.

Mirah yang saat itu masih berusia sekitar lima tahun belum mengerti apa-apa. Akan tetapi, semakin ia beranjak dewasa, ia mengerti apa yang sedang terjadi. 

Setelah cukup umur, sekitar 15 tahun, Mirah pun menjadi Nyai seorang pengawas perkebunan orang Belanda. Mirah melahirkan dua orang anak dari pernikahannya. Kegelisahan Mirah yang melahirkan keturunan Belanda adalah terkadang ia tak merasa memiliki anak-anak yang ia lahirkan sendiri. 

Saat tentara Jepang menguasai Pulau Banda, keluarga Mirah pun tercerai berai. Anak perempuannya dibawa oleh tentara Jepang dan menjadi budak seks sampai akhir hayatnya. Anak laki-lakinya meninggal saat menjadi tentara di Belanda. Suaminya tidak jelas lagi keberadaannya sejak dibawa oleh tentara Jepang.

Mirah menjadi sebatang kara dan tidak memiliki tujuan hidup lagi.
Perang telah mencabik-cabik hartanya yang paling berharga. Perang tidak menyisakan apa-apa lagi untuk Mirah. Semua terambil. 

Oiya, di dalam buku ini juga diceritakan sekilas mengenai pembantaian orang asli Neira oleh Inggris dan Belanda. Oleh karena itu, sampai saat ini katanya orang yang mendiami pulau Neira bukanlah keturunan penduduk asli.

Pala dan Fuli menjadi buah yang mendatangkan emas bagi mereka, tapi juga menjadi alasan mereka dibantai oleh penjajah.

Mirah bertahan sampai ia berusia 60-an tahun. Ia hidup dengan sederhana dan menghidupi dirinya dengan menjadi koki saat ada acara-acara yang digelar di Banda.

Apakah perang memberikan penderitaan dua kali lipat kepada perempuan?
Apakah cerita hidup Mirah akan berbeda kalau dia laki-laki?


Ende, Juli 2020
M

Komentar

Postingan Populer