We Should All Be Feminist: Kenapa Laki-laki dan Perempuan Harus Feminis

"We spend too much time teaching girls to worry about what boys think of them."

(Kita menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mengajari anak perempuan kita untuk mengkhawatirkan apa yang laki-laki pikirkan tentang mereka)

Buku We Should All Be Feminist ini merupakan pengantar yang sederhana mengapa kita, baik laki-laki dan perempuan harus menjadi seorang feminis. Chimamanda menceritakan pengalamannya sebagai seorang perempuan, yang dipandang sebelah mata dan tidak memiliki posisi yang penting di tengah budaya yang melanggengkan kekuasaan laki-laki.

Misalnya, Chimamanda bercerita saat ia dan teman laki-lakinya sedang makan di restoran, si pelayan selalu memandang laki-laki dan memberikan bon makanan ke laki-laki. Makan di restoran masih dianggap sebagai kesitimewaan bagi perempuan. Hanya laki-laki yang punya duit dan mampu untuk makan di restoran, dan perempuan tidak.

Kenapa sih harus menjadi feminis?
Bisa gak sih kita bisa melihat masalah ketimpangan peran laki-laki dan perempuan itu sebagai permasalahan manusia, bukan jenis kelamin?

Oke, kita bahas satu-satu ya! :)

Feminis merupakan sebuah cara pandang dan ideologi berpikir yang memandang laki-laki dan perempuan sebagai rekan yang setara. Laki-laki tidak berkuasa atas perempuan dan yang mereka miliki. Perempuan bukanlah properti. Laki-laki bukan musuh perempuan. Perempuan feminis tidak berupaya untuk berkuasa atas laki-laki. Mereka ingin setara. Diperlakukan sebagai mitra yang setara.

Jadi, kalau banyak yang beranggapan kalau perempuan feminis memusuhi laki-laki, ya pandangan itu salah. Terus, kalau ada yang bilang kalau perempuan feminis berencana untuk menguasai laki-laki dan segala hak miliknya juga tidak benar. 

Perempuan feminis adalah mereka yang memperjuangkan hak yang setara antara laki-laki dan perempuan. Diberikan kesempatan dan hak yang sama. Feminisme adalah gerakan sosial yang bertujuan untuk meruntuhkan kekuasaan patriarki yang mengekang perempuan dan laki-laki.

Ketimpangan peran laki-laki dan perempuan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa kita pandang sebagai masalah manusia semata. Kalau kita memandangnya seperti itu berarti kita percaya bahwa tidak ada ketimpangan yang terjadi. Jadi, persoalan ini harus kita lihat bagaimana laki-laki dan perempuan ditempatkan.

Laki-laki juga menjadi korban budaya toxic masculinity kok. Siapa bilang laki-laki tidak boleh menangis? Siapa bilang laki-laki tidak bisa mengaku lemah dan tidak berdaya? Siapa bilang laki-laki tidak boleh meminta tolong ketika membutuhkan?

Toxic masculinity ini membuat laki-laki seolah-olah seperti baja yang keras. Tidak boleh rapuh. Tidak boleh cengeng. Tidak boleh feminin. So, please ya!

Perempuan sering dianggap sebagai properti yang dipindahtangankan dari orangtua atau keluarganya kepada laki-laki yang akan menjadi suaminya. Tugas perempuan itu melahirkan, merawat suami dan anak, membesarkan anak, memberi makan, dan membersihkan rumah. Iya, tidak ada yang salah dengan itu. 

Akan tetapi, ketika perempuan diberikan tugas hanya karena mereka perempuan bukan karena mereka memilih apa yang layak untuk mereka, ya perempuan jelas dianggap remeh.

Selama bekerja bersama guru-guru di berbagai daerah di Indonesia, temuan saya adalah tidak banyak perempuan yang menjadi kepala sekolah. Tapi, kebanyakan guru adalah perempuan loh. 

Saat ditanya kenapa tidak mau menjadi kepala sekolah, banyak perempuan yang mengaku takut tidak maksimal menjalani peran sebagai kepala sekolah karena mereka masih harus mengerjakan pekerjaan rumah, merawat anak, dan memasak untuk semua anggota keluarga.

Hal yang berbeda terjadi ketika pertanyaan yang sama ditanyakan kepada laki-laki. Tidak ada satupun laki-laki yang menolak menjadi kepala sekolah karena takut terbeban tugas di rumah. Nah, bisa lihat bedanya kan?

"The higher you go, the fewer women there are"

Kalau melihat sekeliling kita, dimanapun berada, baik di lingkungan kerja maupun sosial kita bisa mengidentifikasi bagaimana laki-laki dan perempuan bekerja sesuai peran yang telah disematkan kepada mereka itu. Tidak ada yang salah sih. 

Yang membuatnya menjadi salah adalah kalau kita memberikan justifikasi kepada seseorang karena mereka laki-laki atau karena mereka perempuan. Bukan karena kemampuan, usaha, dan kredibilitas mereka.

Masyarakat yang feminis tidak akan terjadi kalau masih menganggap bahwa feminisme adalah pekerjaan perempuan-perempuan yang tidak puas dengan hidupnya. Laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi korban ketidakadilan gender yang disematkan kepada mereka. 

Jadi, laki-laki dan perempuan harus menjadi mitra yang setara untuk mewujudkan keadilan bagi kedua belah pihak. Setuju gak?


Ende, Juli 2020
M







Komentar

Postingan Populer