Sastra Indonesia Timur (1): Tiba Sebelum Berangkat


"Hari ini pasti beda dengan besok dan lusa, Nak. Tetapi, penderitaan selalu sama saja dari masa ke masa."

Ulasan saya kali ini akan membahas tentang produk karya sastra yang ditulis oleh penulis yang berasal dari Indonesia bagian timur. Kita tahu kalau buku-buku yang beredar di toko buku sebagian besar masih didominasi oleh penulis-penulis dari Pulau Jawa.

Menurut pemikiran saya, sudah saatnya penulis-penulis dari Indonesia Timur diberikan ruang dan kesempatan yang sama untuk mempromosikan hasil karya tulis mereka. 

Cerita-cerita yang mereka sajikan tidak kalah bagus apabila dibandingkan dengan karya penulis yang karyanya sudah sering mengisi rak buku di toko buku terdekat, khususnya di kota besar.

Karya mereka juga bisa menambah khasanah bacaan dengan tema dan konteks yang lebih beragam. Cerita dari Makassar, Manado, Papua, Maluku, NTT, NTB, Sulawesi lainnya masih menunggu ruang dan kesempatan untuk mereka isi.

Nah, salah satu penulis yang layak diberikan kesempatan itu adalah Faisal Oddang. Pemuda berusia 26 tahun ini sudah mendapatkan penghargaan bergengsi seperti Sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (2014) melalui novelnya yang berjudul Puya ke Puya. Novel ini juga menjadi novel terbaik 2015 versi majalah Tempo. Faisal juga mendapatkan penghargaan ASEAN Young Writers Award 2014 dan masih banyak lainnya.

Oke, kita kembali membahas buku ini ya. :)
Buku ini bercerita tentang kehidupan seorang Bissu yang ditangkap, disekap, tersembunyi, dan lidahnya dipotong. Di Sulawesi Selatan, Bissu dikenal sebagai tokoh adat yang dihormati. Mereka tidak mengidentifikasi diri mereka dengan jenis kelamin laki-laki. Fisik mereka laki-laki, tapi mereka bukan laki-laki.

Buku ini merupakan fiksi sejarah yang berkisah tentang pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan sekitar tahun 50-an. Tentara Indonesia mengejar, menangkap, dan membantai orang-orang yang dituduh menjadi simpatisan DI/TII. 

Bissu Rusmi, tokoh utama dalam buku ini menceritakan kisah masa lalunya yang begitu kelam, yang entah bagaimana ceritanya ia bisa melalui kekejaman yang begitu membekas di dalam ingatannya sampai akhir hayatnya.

Ada juga cerita manusia-manusia yang tidak berdaya melawan kekuasaan militer juga silih berganti diceritakan dengan akhir yang menyedihkan. 

Selain itu, yang menarik dari buku ini juga mengenai tema orientasi seksual diceritakan dengan terbuka, yang mana masih jarang diperbincangkan secara di Indonesia. Pata, seorang pemuda yang bertugas menjadi toboto (bertindak sebagai asisten/pembantu Bissu, yang kemudian apabila sesuai dengan kehendakNya, akan menjadi pengantin Bissu) menemukan banyak kegelisahan dan pertanyaan mengenai dirinya dan perasaannya kepada Bissu Rusmi.

Setelah membaca buku ini, menurut saya, Faisal Oddang merupakan salah satu aset kesusastraan Indonesia yang layak diperhitungkan dan diberi ruang seluas-luasnya untuk berkarya. Setelah ini saya akan mencari bukunya yang lain untuk saya baca.

Selamat membaca!


Ende, Juli 2020
M

Komentar

Postingan Populer